Hilangnya pesawat milik Malaysia Airlines berkode penerbangan MH370,
Sabtu (8/3/2014), telah menjadi topik yang mengguncang dunia. Bagi
anak-anak pilot di maskapai Malaysia Airlines, guncangan yang dirasakan
tak kalah besarnya.
Sebuah surat ditulis oleh Dr Nur Nadia Abd
Rahim, menggambarkan guncangan tersebut. Dia adalah putri Kapten Abd
Rahim Harun, salah satu pilot maskapai Malaysia Airlines meski bukan
pilot dari pesawat yang hilang itu.
Berikut ini adalah terjemahan bebas dari surat Nur tersebut.
Sopir Terbang
Catatan
ini sudah terlambat dan seharusnya sudah kutulis lama sebelum ini,
untuk memberitahu ayahku betapa bangganya aku pada dia.
Aku bangga dengan apa yang dia kerjakan, meskipun dia tak berada bersamaku selama setengah umurku.
Aku sangat menyesal karena malu memberitahu teman-temanku bahwa ayah adalah pilot. Pilot yang baik.
Aku sangat menyesal sekarang karena dulu memberitahu teman-temanku bahwa ayah hanyalah sopir.
Aku tak ingin tampil sebagai anak yang istimewa.
Kami hidup biasa-biasa saja.
Aku adalah bagian dari keluarga besar Malaysia Airlines.
Aku sudah terbang bersama mereka sejak aku bayi.
Perjalanan pertama favoritku bersama ayah, pilot favoritku, adalah ke Kota Kinabalu.
Rupanya aku disebut anak yang nakal (tapi menggemaskan?).
Meski demikian aku mencintai bandara dan penerbangan.
Ayahku, seperti halnya kapten pilot pesawat yang hilang, telah bekerja untuk Malaysia Airlines sejak lulus sekolah.
Kami
sudah berulang kali mendesaknya pindah ke maskapai lain, tetapi dia
menolak karena ingin berada dekat dengan keluarga, sesering mungkin.
Kami
seharusnya bisa menikmati fasilitas yang ditawarkan - pendidikan gratis
di sekolah, sekolah internasional, semua biaya hidup ditanggung, dan
sopir yang mengantar kami ke mana-mana, bila dia menerima tawaran
pekerjaan dari maskapai lain.
Itu adalah fasilitas yang banyak dicari pilot MAS.
Menjadi
seorang putri pilot, kamu harus terbiasa hanya ke mana-mana bersama ibu
saja, mulai dari hari pertama sekolah, penyerahan penghargaan dalam
upacara sekolah, ajang olahraga, ulang tahun, bahkan hari raya.
Insiden terburuk adalah ketika ayah tak ada ketika rumah kami dirampok oleh tiga orang penjahat bertopeng.
Lebih daripada itu, ibu yang hamil 7 bulan pun harus mengatasi segalanya sendirian tanpa ayah.
Dia menolak menelepon ayah dan membuat ayah khawatir, sampai ayah kembali ke Kuala Lumpur keesokan harinya.
Ibuku
memahami beban yang harus ayah tanggung di pundaknya, fokusnya saat
terbang adalah tanggung jawab atas ratusan nyawa dan bukan cuma
keluarganya di rumah.
Aku ingat sedang tersedak air mata
ketika dosen Bahasa Inggris kami di perguruan tinggi meminta kami satu
per satu, "Apa yang paling Anda ingat tentang ayahmu?"
Aku berdiri dan menjawab, "Aku ingat bahwa ia tidak ada bersamaku dalam separuh umurku."
(Tapi) dia jelas bukan seorang ayah yang buruk. Dia hanya bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami.
Kami
sudah terbiasa menerima keadaan itu, terutama ketika orang bertanya
kepada kami, "Ayah mana?" Aku akan menjawab mereka, "Entah, (dia) di
suatu tempat di seluruh dunia. Tidak yakin. Harus memeriksa daftar itu."
Sepanjang
hidupnya, kehadirannya ditentukan oleh selembar kertas yang dia bagikan
kepada kami pada setiap awal bulan. Dia kadang-kadang akan kesal ketika
aku bertanya kepadanya tentang lokasinya. Karena itu, aku harus
memeriksa daftar terlebih dulu sebelum bertanya kepadanya.
Sebelum
dia berangkat kerja, kami akan mengantar, melihat mobil penjemputnya
datang dan membawanya pergi. Kadang-kadang pada dini hari, lain kali di
tengah malam. Kami akan mengirimkan "salam" untuknya terlebih dahulu
sebelum tidur.
Dan setiap kali dia pulang kerja, semua orang di rumah akan berdiri menyambut di depan pintu.
Aku tak menyadari betapa pentingnya ritual itu sampai terjadi insiden MH370.
Setiap
kali ia berangkat kerja, ia bertanggung jawab untuk ratusan nyawa,
bertanggung jawab menghubungkan keluarga untuk berkumpul lagi,
bertanggung jawab membantu pengusaha membuat kesepakatan, bertanggung
jawab mewujudkan impian berkelana para wisatawan.
Aku
ingat sekali, seorang penumpang yang sangat tua dengan kursi roda
menunggu Ayah untuk bertemu dengannya secara pribadi setelah penerbangan
London - KL. Dia memberi Ayah jempol dan berkata, "Apakah kau Kapten?
Kita mendarat sangat halus. Terima kasih!"
Diam-diam, aku tersenyum bangga mendengarnya.
Tetapi,
jauh di lubuk hati, keluarga kami tahu setiap kali ia berangkat kerja
selalu ada kemungkinan mendapatkan panggilan telepon yang menentukan
itu, kemungkinan dia tidak pernah pulang ke rumah. Kami telah menerima
itu sebagai bagian dari kehidupan kami, setiap hari.
Ia menjalani latihan keras untuk berada di posisinya sekarang.
Dia menjalani pemeriksaan kesehatan tahunan untuk memastikan apakah dia fit untuk terbang.
Dia menghadapi ujian, seperti anak sekolahan.
Buku manual penerbangannya setebal buku medisku.
Dia
"OCD" (teliti, seperti istilah orang-orang) seperti yang Anda inginkan
ada pada setiap pilot sebelum penerbangan Anda, memastikan semuanya
tepat.
Bahkan soal ketepatan waktu, bukan karena terlambat
satu menit atau akan datang beberapa menit lebih awal ketika mengatakan
akan sampai di suatu tempat dalam waktu tertentu. "Aku akan sampai di
sana tujuh menit lagi. Bersiaplah...."
Surat ini adalah potongan kehidupan keluarga awak kabin.
Kru kabin banyak berkorban hanya supaya mereka bisa membantu dunia terhubung dari titik A ke titik B.
Mari kita dukung keluarga terkait penerbangan MH370 dengan dukungan dan doa.
Sebelum
Anda menghakimi, mengacungkan jari tengah, atau menyebarkan teori dan
spekulasi, ingat bahwa Anda tak hanya menyakiti keluarga awak kabin dari
pesawat yang hilang itu, tetapi juga menyakiti perasaan kami sebagai
keluarga besar MAS.
Di mana pun kau berada, MH370, kami berdoa kau kembali.
Sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2014/03/19/anak-pilot-malaysia-airlines-pun-bikin-surat-galau
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write comments